Skip to main content

atresia ani


ATRESIA ANI



A.      PENGERTIAN

1.       Atresia ani, disebut juga anus imperforata merupakan suatu kelainan malformasi kongenital dimana terjadi ketidaklengkapan perkembangan embrionik pada bagian anus atau tertutupnya anus secara abnormal atau dengan kata lain tidak ada lubang secara tetap pada daerah anus (Hidayat, 2008).

2.       Atresia Ani / Atresia Rekti adalah ketiadaan atau tertutupnya rectal secara congenital (Dorland, 1998).

3.       Malformasi anorektal atau sering disebut juga dengan anus imperforata adalah malformasi kongenital dimana rektum tidak mempunyai lubang luar (Wong, 1996).

4.       Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus imperforata meliputi anus, rektum, atau batas di antara keduanya (Betz, 2002).

5.       Atresia ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang atau saluran anus (Donna, 2003).

6.       Atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada distal anus atau tertutupnya anus secara abnormal (Suradi, 2001).

7.       Atresia ani atau anus imperforata adalah tidak terjadinya perforasi membran yang memisahkan bagian endoterm mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak sempurna. Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung dengan rektum (Purwanto, 2001).

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhePx8hAPuRzyIXHll0imVZYLYhIm8dOMwNrXNHajgRP6Jwttqxgr6fEWXLAYkRAVdhDen9Ll1ZT8BMu5BOsHfaIk7JiuPrXrskD4qDUzvve5vhNh_OH6q5iGcx6l4Fw1Grb0yxZAhuVi4/s1600/Atresia+ani+macrofag.jpghttp://salerno.uni-muenster.de/data/bl/graphics/pics_big/51_2.jpg

B.       INSIDENSI

8.      Anus imperforata terjadi pada 1 dari setiap 4000 sampai 5000 kelahiran hidup

9.      20%  – 75 % bayi penderita anus imperforata juga menderita kelainan lain, dengan malformasi saluran genitourinaria yang ditemukan paling sering (20% – 54%) dan fistula trakeoesofagus yang terjadi pada 10% bayi.

10.  Anus imperforata sama banyaknya baik pada laki – laki maupun pada perempuan, dan biasanya tidak ada riwayat keluarga dalam ketidaknormalan ini.

11.  Adanya kelainan yang berhubungan biasanya sebagai penyebab kematian. (Cecily, 2009)

C.      ETIOLOGI

Penyebab sebenarnya dari atresia ani ini belum di ketahui pasti, namun ada sumber yang mengatakan bahwa kelainan bawaan anus di sebabkan oleh :

1.    Karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi, atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik.

2.    Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan dubur, sehingga bayi lahir tanpa lubang anus.

3.    Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena ada kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3 bulan.

4.    Kelainan bawaan, anus umumnya tidak ada kelainan rektum, sfingter, dan otot dasar panggul. Namum demikian pada agenesis anus, sfingter internal mungkin tidak memadai. Menurut penelitian beberapa ahli masih jarang terjadi bahwa gen autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia ani. Orang tua tidak diketahui apakah mempunyai gen carier penyakit ini. Janin yang diturunkan dari kedua orang tua yang menjadi carier saat kehamilan mempunyai peluang sekitar 25 % - 30 % dari bayi yang mempunyai 19 sindrom genetik, abnormalitas kromosom, atau kelainan kongenital lain juga beresiko untuk menderita atresia ani (Purwanto, 2001).



D.      FAKTOR PREDISPOSISI

Atresia ani dapat terjadi disertai dengan beberapa kelainan kongenital saat lahir, seperti :

1.      Kelainan sistem pencernaan terjadi kegagalan perkembangan anomali pada gastrointestinal.

2.      Kelainan sistem perkemihan terjadi kegagalan pada genitourinari.

E.       TANDA DAN GEJALA

1.      Pemeriksaan fisik menunjukkan tidak adanya lubang anus eksternal.

2.      Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran.

3.      Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rektal pada bayi.

4.      Mekonium keluar melalui fistula atau anus yang salah letaknya.

5.      Distensi bertahap dan adanya tanda – tanda obstruksi usus bila tidak ada fistula.

(Cecily, 2009)

F.       KLASIFIKASI

Klasifikasi atresia ani ada 4 yaitu :

1.         Anal stenosis

Adalah terjadinya penyempitan daerah anus sehingga feses tidak dapat keluar.

2.         Membranosus atresia

Adalah terdapatnya membran pada anus.

3.         Anal agenesis

Adalah memiliki anus tetapi ada daging diantara rectum dengan anus.

4.         Rectal atresi

Adalah tidak memiliki rektum.



Pasien bisa diklasifikasikan lebih lanjut menjadi 3 sub kelompok anatomi yaitu :

1.    Anomali rendah / infralevator

Rektum mempunyai jalur desenden normal melalui otot puborektalis, terdapat sfingter internal dan eksternal yang berkembang baik dengan  fungsi normal dan tidak terdapat hubungan dengan saluran genitourinarius.

2.    Anomali intermediet

Rektum berada pada atau di bawah tingkat otot puborectalis, lesung anal dan sfingter eksternal berada pada posisi yang normal.

3.    Anomali tinggi / supralevator

Ujung rectum di atas otot puborectalis dan sfingter internal tidak ada. Hal ini biasanya berhubungan dengan fistula genitourinarius – retrouretral (pria) atau rectovagina (perempuan). Jarak antara ujung buntu rectum sampai kulit perineum lebih dari 1 cm.



Ladd dan Gross (1966) membagi anus inperforata dalam 4 golongan, yaitu:

1.    Stenosis rectum yang lebih rendah atau pada anus

2.    Membran anus menetap

3.    Anus inperforata dan ujung rectum yang buntu terletak pada bermacam-macam jarak dari peritoneum. Pada golongan 3 hampir selalu disertai fistula, pada bayi wanita yang sering ditemukan fisula rektovaginal (bayi buang air besar lewat vagina) dan jarang rektoperineal, tidak pernah rektobrinarius. Sedang pada bayi laki-laki dapat terjadi fistula rektourinarius dan berakhir dikandung kemih atau uretra serta jarang rektoperineal.

4.    Lubang anus yang terpisah dengan ujung rectum yang buntu

Menurut klasifikasi Wingspread (1984), atresia ani dibagi 2 golongan yang dikelompokkan menurut jenis kelamin :

1.    Pada laki – laki

a.     Golongan I dibagi menjadi 5 kelainan yaitu kelainan fistel urin, atresia rektum, perineum datar, fistel tidak ada dan pada invertogram : udara > 1 cm dari kulit.

b.    Golongan II dibagi 5 kelainan yaitu kelainan fistel perineum, membran anal, stenosis anus, fistel tidak ada. dan pada invertogram : udara < 1 cm dari kulit.







2.    Pada perempuan

a.     Golongan I dibagi menjadi 6 kelainan yaitu kelainan kloaka, fistel vagina, fistel rektovestibular, atresia rektum, fistel tidak ada dan pada invertogram : udara > 1 cm dari kulit.

b.    Golongan II dibagi 4 kelainan yaitu kelainan fistel perineum, stenosis anus, fistel tidak ada dan pada invertogram: udara < 1 cm dari kulit.



Melbourne membagi berdasarkan garis pubokoksigeus dan garis yang melewati ischii :

1.      Letak tinggi

Apabila rektum berakhir diatas muskulus levator ani (muskulus pubokoksigeus).

2.      Letak intermediet

Apabila akhiran rektum terletak di muskulus levator ani.

3.      Letak rendah

Apabila akhiran rektum berakhir bawah muskulus levator ani.



G.      PATOFISIOLOGI

Terjadinya anus imperforata karena kelainan congenital dimana saat proses perkembangan embrionik tidak lengkap pada proses perkembangan anus dan rectum. Dalam perkembangan selanjutnya ujung ekor dari belakang berkembang menjadi kloaka yang juga akan berkembang menjadi genitor urinary dan struktur anoretal.  Atresia ani ini terjadi karena tidak sempurnanya migrasi dan perkembangan kolon antara 12 minggu atau tiga bulan selama perkembangan janin. Kegagalan tersebut terjadi karena abnormalitas pada daerah uterus dan vagina, atau juga pada proses obstruksi. Anus imperforate ini terjadi karena tidak adanya pembukaan usus besar yang keluar anus sehingga menyebabkan feses tidak dapat dikeluarkan.

Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstuksi dan adanya fistula. Obstuksi ini mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah dengan segala akibatnya. Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum, maka urin akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis hiperchloremia, sebaliknya feses mengalir kearah traktus urinarius menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara rectum dengan organ sekitarnya.

Pada wanita 90% dengan fistula ke vagina (rektovagina) atau perineum (rektovestibuler).

Pada laki- laki biasanya letak tinggi, umumnya fistula menuju ke vesika urinaria atau ke prostate (rektovesika) pada letak rendah fistula menuju ke urethra (rektourethralis)

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhGpLkPlWzNWZU0HqPGeFDCoySXDc_8-odOOZi7kyd8atyTf4w5dyBRzR3eTuJFSye3iYNgPBEMnJ9llAM7Dx8caBG1z6fWebpIWeBYQqlunvfnIain10ui9BzDgWlh7wDP9NVgXbXAcZe0/s1600/Untitled.png

H.      PEMERIKSAAN PENUNJANG

1.      Pemeriksaan rektal digital dan visual.

2.      Jika ada fistula, urine dapat diperiksa untuk mengetahui adanya sel – sel epitel mekonium.

3.      Pemeriksaan sinar X – lateral inversi ( tehnik Wangensteen – Rice) dapat menunjukkan adanya kumpulan udara dalam ujung rektum yang buntu pada atau di dekat perineum; dapat menyesatkan jika rektum penuh dengan mekonium yang menghalangi udara sampai ke ujung kantong rektal. Pemeriksaan foto Invertogram (Wangenstein Rice) dilakukan dengan cara :

a.    Tekniknya: bayi diletakkan posisi erect terbalik (kepala di bawah), atau posisi pronasi, kemudian dengan sinar X horizontal diarahkan ke trochanter mayor. Dari gambaran yang terbentuk, akan dapat dinilai ujung udara yang ada di distal rektum ke marka anus.

b.    Sedangkan penilaian Foto Invertogram, yaitu dengan cara menarik garis imajiner pubococcigeal, bila kontras udara proksimal dari garis ini berarti letak tinggi, bila tepat pada garis letak intermediet, dan bila lebih distal dari garis ini berarti letak rendah.


4.      USG, untuk membantu menentukan letak kantong rektal.

5.      Aspirasi jarum untuk mendeteksi kantong rektal, dengan cara menusukkan jarum tersebut sambil melakukan aspirasi. Jika mekonium tidak keluar pada saat jarum sudah masuk 1,5 cm, defek tersebut dapat dianggap sebagai defek tingkat tinggi. (Cecily, 2009)



I.         PENATALAKSANAAN

1.    Keperawatan

Kepada orang tua perlu diberitahukan mengenai kelainan pada anaknya dan keadaan tersebut dapat diperbaiki dengan jalan operasi. Operasi akan dilakukan 2 tahap yaitu tahap pertama hanya dibuatkan anus buatan dan setelah umur 3 bulan dilakukan operasi tahapan ke 2, selain itu perlu diberitahukan perawatan anus buatan dalam menjaga kebersihan untuk mencegah infeksi, serta memperhatikan kesehatan bayi.



2.    Medis

Penatalaksanaan atresia ani tergantung klasifikasinya. Pada atresia ani letak tinggi harus dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Pada beberapa waktu lalu penanganan atresia ani menggunakan prosedur abdominoperineal pullthrough, tapi metode ini banyak menimbulkan inkontinen feses dan prolaps mukosa usus yang lebih tinggi. Pena dan Defries pada tahun 1982 memperkenalkan metode operasi dengan pendekatan postero sagital anorektoplasti, yaitu dengan 8 cara membelah muskulus sfingter eksternus dan muskulus levator ani untuk memudahkan mobilisasi kantong rektum dan pemotongan fistel.

 Leape (1987) menganjurkan pada :

a.    Atresia letak tinggi dan intermediet dilakukan sigmoid kolostomi atau TCD dahulu, setelah 6 –12 bulan baru dikerjakan tindakan definitif (PSARP) .

b.    Atresia letak rendah dilakukan perineal anoplasti, dimana sebelumnya dilakukan tes provokasi dengan stimulator otot untuk identifikasi batas otot sfingter ani ekternus

c.    Bila terdapat fistula dilakukan cut back incicion

d.   Pada stenosis ani cukup dilakukan dilatasi rutin, berbeda dengan Pena dimana dikerjakan minimal PSARP tanpa kolostomi.





Penatalaksanaan Post – operatif

a.    Antibiotik intra vena diberikan selama 3 hari ,salep antibiotik diberikan selama 8- 10 hari.

b.    2 minggu pasca operasi dilakukan anal dilatasi dengan heger dilatation, 2 kali sehari dan tiap minggu dilakukan anal dilatasi dengan anal dilator yang dinaikan sampai mencapai ukuran yang sesuai dengan umurnya. Businasi dihentikan bila busi nomor 13 – 14 mudah masuk.

c.    Pada kasus fistula rektouretral, kateter foley dipasang hingga 5 – 7 hari. Sedangkan pada kasus kloaka persisten, kateter foley dipasang hingga 10 – 14 hari.

d.   Setelah dilakukan penutupan kolostomi, eritema popok sering terjadi karena kulit perineum bayi tidak pernah kontak dengan feses sebelumnya. Salep tipikal yang mengandung vitamin A, D, aloe, neomycin dan desitin dapat digunakan untuk mengobati eritema popok ini.

J.        KOMPLIKASI

1.      Asidosis hiperkloremik

2.      Infeksi saluran kemih yang terus menerus

3.      Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah)

4.      Komplikasi jangka panjang :

a.         Eversi mukosa anus

b.        Stenosis (akibat kontraksi jaringan parut dari anastomosis)

c.         Impaksi dan konstipasi (akibat dilatasi sigmoid)

d.        Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet trainning

e.         Inkontinensia (akibat stenosis anal atau impaksi)

f.         Prolaps mukosa anorektal (menyebabkan inkontinensia dan rembesan persisten)

g.        Fistula kambuhan (karena tegangan di area pembedahan dan infeksi)

(Cecily, 2009)

K.      PROGNOSIS

Prognosis bergantung dari fungsi klinis. Dengan khusus dinilai pengendalian defekasi, pencemaran pakaian dalam. Sensibilitas rektum dan kekuatan kontraksi otot sfingter pada colok dubur (Hamami A.H, 2004). Fungsi kontineia tidak hanya bergantung pada kekuatan sfingter atau sensibilitasnya, tetapi juga bergantung pada usia serta kooperasi dan keadaan mental penderita (Hamami A.H, 2004). Hasil operasi atresia ani meningkat dengan signifikan sejak ditemukannya metode PSARP (Levitt M, 2007)























































L.       ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN ATRESIA ANI

1.      Pengkajian

a.         Pola Persepsi Kesehatan

Mengkaji kemampuan pasien dan keluarga melanjutkan perawatan di rumah.

b.         Pola Nutrisi dan Metabolik

Anoreksia, penurunan BB dan malnutrisi umumnya terjadi pada pasien dengan atresia ani post tutup kolostomi. Keinginan pasien untuk makan mungkin terganggu oleh mual dan muntah dampak dari anastesi.

c.         Pola Eliminasi

Dengan pengeluaran melalui saluran kencing, usus, kulit dan paru maka tubuh dibersihkan dari bahan-bahan yang melebihi kebutuhan dan dari produk buangan. Oleh karena itu pada pasien atresia ani tidak terdapatnya lubang pada anus, sehingga pasien akan mengalami kesulitan dalam defekasi.

h.      Pola Aktivitas dan Latihan

Pola latihan dan aktivitas dipertahankan untuk menghindari kelemahan otot.

d.         Pola Persepsi Kognitif

Menjelaskan tentang fungsi penglihatan, pendengaran, penciuman dan daya ingatan masa lalu dan ketanggapan dalam menjawab pertanyaan.

e.         Pola Tidur dan Istirahat

Pada pasien mungkin pola istirahat dan tidur terganggu karena nyeri pada luka insisi.

f.          Pola Konsep Diri dan Persepsi Diri

Menjelaskan konsep diri dan persepsi diri misalnya body image, body comfort. Tidak terjadi perilaku distraksi, gelisah, penolakan karena dampak luka jahitan operasi.







g.         Pola Peran dan Pola Hubungan

Bertujuan untuk mengetahui peran dan hubungan sebelum dan sesudah sakit. Perubahan pola biasa dalam tanggung jawab atau perubahan kapasitas fisik untuk melaksanakan peran.

h.         Pola Reproduksi dan Seksual

Pola ini bertujuan untuk menjelaskan fungsi sosial sebagai alat reproduksi.

i.           Pola Pertahanan Diri, Stress dan Toleransi

Adanya faktor stress lama, efek hospitalisasi, masalah keuangan, dan rumah.

j.           Pola Keyakinan

k.         Untuk menerapkan sikap, keyakinan klien dalam melaksanakan agama yang dipeluk dan konsekuensinya dalam keseharian. Dengan ini diharapkan perawat memberikan motivasi dan pendekatan terhadap klien dalam upaya pelaksanaan ibadah.

2.      Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul :

a.       Pre Operasi

1)   Inkontinentia bowel berhubungan dengan tidak lengkapnya pembentukan anus.

2)    Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan muntah.

3)   Kecemasan orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit dan prosedur perawatan.

b.      Post Operasi

1)   Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan insisi pembedahan.

2)   Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.

3)   Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan.

4)   Kurangnya pengetahuan keluarga berhubungan dengan kebutuhan perawatan dirumah.



3.      Intervensi keperawatan :

a.    Pre Operasi

1)   Inkontinentia bowel berhubungan dengan tidak lengkapnya pembentukan anus.

Tujuan : Terjadi peningkatan fungsi usus.

Kriteria hasil :

§   Pasien menunjukkan konsistensi tinja lembek

§   Terbentuknya tinja

§   Tidak ada nyeri saat defekasi

§   Tidak terjadi perdarahan

Intervensi :

§  Lakukan dilatasi anal sesuai program.

Rasional : Meningkatkan kenyamanan pada anak.

§  Kaji bising usus dan abdomen setiap 4 jam.

Rasional : Menyakinkan berfungsinya usus.

§  Ukur lingkar abdomen klien.

Rasional : Membantu mendeteksi terjadinya distensi.

§  Pertahankan puasa dan berikan terapi hidrasi IV sampai fungsi usus normal.

Rasional : Memulihkan dan mengembalikan fungsi usus.

2)   Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan muntah.

Tujuan : Volume cairan terpenuhi

Kriteria Hasil :

§   Turgor kulit baik dan bibir tidak kering

§   Tanda vital dalam batas normal

Intervensi :

§  Awasi masukan dan keluaran cairan.

Rasional : Untuk memberikan informasi tentang keseimbangan cairan.

§  Kaji tanda-tanda vital seperti TD, frekuensi jantung, dan nadi.

Rasional : Kekurangan cairan meningkatkan frekuensi jantung, TD dan nadi turun.

§  Observasi tanda-tanda perdarahan yang terjadi post operasi.

Rasional : Penurunan volume menyebabkan kekeringan pada jaringan.

§  Kolaborasi dalam pemberian cairan elektrolit sesuai indikasi.

Rasional : Untuk pemenuhan cairan yang hilang.

3)   Kecemasan orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit dan prosedur perawatan.

Tujuan : Rasa cemas dapat hilang atau berkurang.

Kriteria Hasil :

§   Ansietas berkurang

§   Klien tidak gelisah

Intervensi :

§   Kaji status mental dan tingkat ansietas dari klien dan keluarga.

Rasional : Derajat ansietas akan dipengaruhi bagaimana informasi tersebut diterima.

§   Jelaskan dan persiapkan untuk tindakan prosedur sebelum dilakukan operasi.

Rasional : Dapat meringankan ansietas terutama ketika tindakan operasi tersebut dilakukan.

§   Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan isi pikiran dan perasaan takutnya.

Rasional : Mengungkapkan rasa takut secara terbuka dimana rasa takut dapat ditujukan.

Ciptakan lingkungan yang tenang dan nyaman. Rasional : Lingkungan yang nyaman dapat mengurangi ansietas.

b.    Post Operasi

1)   Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan insisi pembedahan.

Tujuan : Nyeri dapat berkurang dan skala nyeri berkurang

Kriteria Hasil :

§   Klien mengatakan nyeri berkurang

§   Skala nyeri 0-1

§   Ekspresi wajah terlihat rileks

Intervensi :

§  Kaji karakteristik, lokasi, durasi, frekuensi, dan kualitas nyeri.

Rasional : Bantu klien untuk menilai nyeri dan sebagai temuan dalam pengkajian.

§  Ajarkan klien manajemen nyeri dengan teknik relaksasi dan distraksi.

Rasional : Membantu dalam menurukan atau mengurangi persepsi atau respon nyeri.

§  Ciptakan lingkungan yang nyaman dan anjurkan klien untuk istirahat.

Rasional : Memberikan kenyamanan untuk klien agar dapat istirahat.

§  Kolaborasi untuk pemberian analgetik sesuai advis dokter.

Rasional : Untuk mengurangi rasa nyeri.

2)   Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.

Tujuan : Asupan nutrisi dapat terpenuhi dan menuunjukkan perbaikan usus.

Kriteria Hasil :

§  Tidak terjadi penurunan BB.

§  Klien tidak mual dan  muntah

Intervensi :

§  Kaji kemampuan klien untuk menelan dan menguyah makanan.

Rasional : Menentukan pemilihan jenis makanan sehingga mencegah terjadinya aspirasi.

§  Timbang berat badan sesuai indikasi.

Rasional : Mengevaluasi keadekuatan rencana pemenuhan nutrisi.

§  Jaga keamanan saat memberikan makan klien seperti kepala sedikit fleksi saat menelan.

Rasional : Menurunkan resiko terjadinya aspirasi dan mengurangi rasa nyeri pada saat menelan.

§  Berikan makanan lembut dalam porsi sedikit tapi sering.

Rasioanl : Meningkatkan pemasukan dan menurunkan distress gaster.

3)   Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan.

Tujuan : Tidak ditemukannya tanda-tanda infeksi.

Kriteria Hasil :

§   Tidak ada tanda-tanda infeksi

§   Pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan peningkatan leukosit.

§   Luka post operasi bersih

Interversi :

§   Pantau suhu tubuh klien (peningkatan suhu).

Rasional : Demam dapat terjadi karena infeksi.

§   Ajarkan keluarga teknik mencuci tangan dengan benar dan menggunakan sabun anti mikroba.

Rasional : Faktor ini paling sederhana tetapi paling penting untuk mencegah infeksi di rumah sakit.

§   Pertahankan teknik aseptik pada perawatan luka.

Rasional : Mencegah terjadinya infeksi nosokomial.

§   Kolaborasi dalam pemberian antibiotik.

Rasional : Mencegah terjadinya infeksi luka.

§   Kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium.

Rasional : Peningkatan leukosit menunjukkan adanya infeksi.

4)   Kurangnya pengetahuan keluarga berhubungan dengan kebutuhan perawatan dirumah.

Tujuan : Pasien dan keluarga memahami perawatan di rumah

Kriteria Hasil :

§   Keluarga menunjukkan kemampuan untuk memberikan perawatan untuk bayi di rumah.

§   Keluarga tahu dan memahami dalam memberikan perawatan pada klien.

Intervensi :

§   Ajarkan perawatan kolostomi dan partisipasi dalam perawatan.

Rasional : Agar keluarga dapat melakukannya.

§   Ajarkan untuk mengenal tanda-tanda dan gejala yang perlu dilaporkan perawat.

Rasional : Agar segera dilakukan tindakan.

§   Ajarkan keluarga cara perawatan luka yang tepat.

Rasional : Dapat memberikan pengetahuan keluarga.

§   Latih keluarga untuk kebiasaan defekasi.

Rasional : untuk melatih pasien.

§   Ajarkan keluarga untuk memodifikasi diit (misalnya serat).

Rasional : Membantu klien memperlancar defekasi.















































DAFTAR PUSTAKA



Cecily Lynn Betz. (2009). Buku Saku Keperawatan Pediatrik Ed 5. Jakarta: EGC.



Dorland. (1998). Kamus Saku Kedokteran Dorlana. Alih Bahasa: Dyah Nuswantari Ed. 25. Jakarta: EGC

Hidayat, A. Azis Alimul. (2008). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak Untuk Pendidikan Kebidanan. Jakarta : Salemba Medika.



Ngastiyah. (1997). Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC



Schwartz, Seymour I. (2000). Intisari Prinsip – Prinsip Ilmu Bedah. Jakarta:EGC.



Sodikin. (2011). Asuhan Keperawatan Anak : Gangguan Sistem Gastrointestinal dan Hepatobilier. Jakarta: Salemba Medika





Comments

Popular posts from this blog

keracunan obat-obatan dan asuhan keperawatan

KERACUNAN OBAT ASETAMINOFEN A. Definisi Intoksikasi atau keracunan adalah masuknya zat atau senyawa kimia dalam tubuh manusia yang menimbulkan efek merugikan pada yang menggunakannya. Obat adalah sedian atau paduan-paduan yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki secara fisiologis atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosa, pencegahan penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi. (Kebijakan Obat Nasional, Departemen Kesehatan RI, 2005). Keracunan adalah keadaan sakit yang ditimbulkan oleh racun. Bahan racun yang masuk ke dalam tubuh dapat langsung mengganggu organ tubuh tertentu, seperti paru-paru, hati, ginjal dan lainnya. Tetapi zat tersebut dapat pula terakumulasi dalam organ tubuh, tergantung sifatnya pada tulang, hati, darah atau organ lainnya sehingga akan menghasilkan efek yang tidak diinginkan dalam jangka panjang. Parasetamol (asetaminofen) merupakan obat analgetik non narkotik dengan cara kerja menghambat sintesis prostaglandin ter...

makalah gadar pneumothorakh

A.     LATAR BELAKANG Paru-paru merupakan unsur elastis yang akan mengempis seperti balon dan mengeluarkan semua udaranya melalui trakea bila tidak ada kekuatan untuk mempertahankan pengembangannya. Paru-paru   sebenarnya mengapung dalam rongga toraks, dikelilingi oleh suatu lapisan tipis cairan pleura yang menjadi pelumas bagi gerakan paru-paru di dalam rongga. Jadi pada keadaan normal rongga pleura berisi sedikit cairan dengan tekanan negatif yang ringan . Pneumotoraks adalah keadaan terdapatnya udara atau gas dalam rongga pleura. Dengan adanya udara dalam rongga pleura tersebut, maka akan menimbulkan penekanan terhadap paru-paru sehingga paru-paru tidak dapat mengembang dengan maksimal sebagaimana biasanya ketika bernapas. Pneumotoraks dapat terjadi baik secara spontan maupun traumatik.Pneumotoraks spontan itu sendiri dapat bersifat primer dan sekunder.Sedangkan pneumotoraks traumatik dapat bersifat iatrogenik dan non iatrogenic . Insidensi pneumotora...